Jumat, 12 September 2014

PERMASALAHAN TENAGA KERJA INDONESIA DAN SOLUSINYA

Kasus kekerasan terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) tiap tahun sangat memilukan, kejadian ini sering kali terulang dari kasus pencabulan, siksaan sampai berujung kematian. Perkembangan akhir yang masih hangat adalah nasib Sumiati yang sungguh amat sangat menyedihkan. TKI asal Nusa Tenggara Barat ini disiksa oleh majikannya di Madinah, Arab Saudi. Muhaimin Iskandar selaku Menakertrans mengabarkan, bahwa Sumiati mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kaki nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala terkelupas, tulang jari tengah tangan retak, dan alis mata rusak. Yang paling mengenaskan adalah bagian atas bibirnya dipotong. (republika.co.id, 27/11)



Sedangkan Kikim komalasari (36) dari Kampung Citeuyeum, Cianjur, Jawa Barat tewas mengenaskan dengan jasad yang ditemukan di tempat sampah setelah mengalami kekerasan seksual oleh majikanya dikota abha, arab saudi.(rakyatmedia.co.id, 20/11)

Bukan pertama kali, tenaga kerja Indonesia mengalami hal yang menyedihkan di luar negeri. Bentuk nya bermacam-macam, ada yang ditipu, tidak dibayar oleh majikan, sampai disika. Meskipun ini bukan hanya terjadi di Arab Saudi saja kejadian yang mirip pernah menimpa tenaga kerja wanita di Malaysia, Singapura, Amerika, Hongkong dan beberapa tempat lainnya. Akan tetapi mayoritas kasus TKI bermasalah ada di Negeri Muslim, kemudian yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah ”kok negara islam malah sering siksa TKI?”

Akar permasalahan

Kemiskinan
Hidup sengsara di negeri sendiri, hidup menderita di negeri orang. Itulah kenyataan yang dihadapi sebagian TKI/TKW Indonesia di luar negeri. Ironis memang, negeri yang sebenarnya kaya raya ini, sebagian penduduknya harus mengais rezeki di negeri orang.

Munculnya fenomena berbondong-bondongnya tenaga kerja asal Indonesia untuk pergi menjemput rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat hidup semakin susah. Sementara akibat kemiskian itu, otomatis tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.

Mungkin dalam bahasa para TKI, “daripada harus tetap bertahan di dalam negeri, namun berada dalam kelaparan dan kemiskinan, lebih baik menjadi TKI saja.” Menjadi TKI adalah solusi bagi mereka untuk bertahan hidup. Namun, ironisnya, maksud hati ingin mencari pekerjaan yang nyaman, tapi ternyata justru penganiayaan yang mereka peroleh di luar negeri

Kesempatan kerja
Perekonomian Indonesia mengalami surplus tenaga kerja. Jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya. Pemerintah memperkirakan angka pengangguran turun dari 7,9 persen di tahun 2009 menjadi 7,6% pada 2010. Tetapi sebenarnya masih banyak orang dengan status bekerja, namun melakukan pekerjaan yang tidak layak.

Pertumbuhan penawaran tenaga kerja jelas dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Sensus Penduduk 2010 menunjukkan kecenderungan naiknya pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2010 dibanding 10 tahun sebelumnya. Ini akan membebani pasar kerja dalam beberapa tahun mendatang. Setiap tahun sekitar 2,5 juta tenaga kerja baru masuk ke pasar kerja. Jika angka penyerapan tenaga kerja saat ini sekitar 250 ribu untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, setidaknya 10% pertumbuhan ekonomi dibutuhkan. Padahal kenyataannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini jauh di bawah angka 10%.

Sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja “mengadu nasib” di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa tahun mendatang akan semakin besar. Sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD ke bawah. Semakin sedikit kesempatan kerja untuk para lulusan SD. Hal ini diperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, sehingga harus bekerja termasuk ke luar negeri.
Aliran pekerja ke luar negeri menjadi salah satu solusi untuk mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terus menimbulkan masalah.

Sedikitnya 6 juta TKI bekerja di luar negeri, dengan hampir 80 persen menjadi PRT. Keahlian terbatas dan pendidikan rendah membuat mereka hanya dapat memasuki pasar kerja sektor domestik yang informal. Mereka bergaji rendah, jam kerja tak terbatas, kondisi kerja rentan pelecehan dan penganiayaan, serta terisolasi dari dunia di luar rumah pengguna jasa.

Devisa negara
Pemerintah negeri ini tetap keukeuh (baca: yakin) untuk tidak membuat kebijakaran penghentian sementara pengiriman tenaga kerja keluar negeri (moratorium) dikarenakan banyaknya devisa hasil dari pengiriman uang TKI untuk keluarganya di Indonesia.

Berdasarkan data BI dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jumlah remittance (uang yang dikirim TKI ke tanah air) setiap tahunnya meningkat. Jumlah remittance pada 2005 tercatat 5,3 miliar dolar AS, 5,6 miliar dolar AS (2006), 6 miliar dolar AS (2007), 6,6 miliar dolar AS (2008) dan 6 miliar dolar AS (2009), 15% PDB Indonesia dan sampai semester pertama 2010 sudah mencapai 3,3 miliar dolar AS. Remitansi TKI yang diprediksi Bank Dunia mencapai 7,1 miliar dollar AS tahun 2010. (kompas.com. 26/11/2010)

Di kawasan Asia Pasifik, posisi Indonesia terus meningkat sebagai negara penerima remitansi. Sekarang Indonesia di posisi keempat dengan penerimaan remitansi 7,1 miliar dollar AS di bawah China (51 miliar dollar AS), Filipina (21,3 miliar dollar AS), dan Vietnam (7,2 miliar dollar AS).

Ada dimensi ketidakadilan apabila kita membandingkan jerih payah buruh migran Indonesia dalam bentuk remitansi senilai 7,139 miliar dollar AS tahun 2010 dengan total bantuan asing (Official Development Assistance) yang hanya 1,2 miliar dollar AS pada tahun yang sama.

Walau sumbangan remitansi buruh migran besarnya hampir enam kali lipat dari total bantuan asing, namun buruh migran tak pernah menikmati perlakuan terhormat dari Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, demi mendapatkan bantuan asing, Pemerintah Indonesia tak segan-segan memenuhi persyaratan yang didesakkan oleh pemberi bantuan (tied aid) meski persyaratan tersebut kadang bertentangan dengan konstitusi. (migrantcare.net, 19/11/2010)

Kebijakan Pemerintah RI
Pemerintah RI melakukan beberapa kebijakan pragmatis ”cepat saji”, terkait dengan kasus yang menerpa TKI akhir ini, bertujuan juga untuk melanggengkan pemerintahan SBY periode II lewat politik pencitraan, antara lain:

I. Seleksi ketat PJTKI
Buntut dari kasus tersebut, Pemerintah RI melalui Kemenakertrans telah mengambil tindakan tegas dengan menutup sekitar 100 Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang dianggap tidak mampu. Seluruhnya ada sekitar 400 PJTKI. (republika.co.id, 27/11/2010).

Masalah TKI muncul sejak proses awal di Indonesia dimana pemerintah tidak ikut campur. Umumnya penyaluran TKI melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun ilegal. Agen TKI mengontrol hampir seluruh proses awal, mulai dari rekrutmen, paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit, dan penempatan TKI. Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, direkrut makelar yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses. Rendahnya pendidikan calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah ditipu pihak lain. Mereka tidak memahami aturan dan persyaratan untuk bekerja di luar negeri. Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang juga didasarkan kekhawatiran mereka karena memiliki identitas palsu. Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi kelancaran proses, usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia, tetapi juga nama dan alamat. Oleh karena itu, tidak mudah melacak para TKI bermasalah di luar negeri. (mediaindonesia.com, 24/11/2010)


II. Tenaga Terampil
Persoalan lain yang tak kunjung tuntas adalah pelatihan TKI. Kemennakertrans mensyaratkan calon TKI wajib mengikuti pelatihan minimal 200 jam dan 100 jam bagi TKI yang sudah pernah bekerja di luar negeri. Materi pelatihan adalah bahasa negara tujuan, kompetensi kerja, pengetahuan budaya setempat, hingga perlindungan hukum apabila terjadi sesuatu.

Mereka lalu diuji di lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan mendapat sertifikat kompetensi kerja jika lulus. Sekali lagi, pengawasan dan penegakan hukum yang lemah membuat oknum LSP mendagangkan sertifikat asli tetapi palsu seharga Rp 70.000 per lembar, jauh di bawah biaya pelatihan komplet yang mencapai Rp 1,1 juta per orang.

Pembenahan perekrutan dan pelatihan sebenarnya kunci menyiapkan TKI berkualitas. Pemerintah harus berhenti mengejar jumlah penempatan TKI yang sempat ditargetkan 1 juta orang per tahun demi menekan potensi permasalahan yang mengorbankan pekerja. Sehingga Pemerintah harus mau sepenuh hati membangun sistem perlindungan yang komprehensif bagi para pahlawan devisa. Jangan lagi separuh hati. (kompas, 26/11/2010)

III. Pengawasan dan Perlindungan hukum
Sepanjang pemerintah mampu melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, Indonesia pasti mampu mengirim pekerja berkualitas. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) memperkirakan pada 2010 terdapat sekitar 2,7 juta TKI bekerja di luar negeri. Namun jumlahnya dapat lebih besar mengingat banyak TKI ilegal tidak tercatat. Sekitar 45% TKI memilih bekerja di Malaysia karena kemudahan komunikasi. Sementara 35% TKI bekerja di Arab Saudi.

Pemerintah negeri ini sebenarnya punya lembaga perlindungan tenaga kerja yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (disingkat BNP2TKI) yang mempunyai tugas pokok yaitu: (http://www.bnp2tki.go.id/)
  • melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan;
  • memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai: dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);
namun hingga kini lembaga tersebut belum mampu berbuat banyak selain hanya mencatat kasus yang terjadi serta memberikan pembelaan ala kadarnya dinegera yang bersangkutan jika terjadi kasus, hingga kini masih jauh panggang dari api. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah dari sekitar 14% pada 2008 menjadi lebih dari 20% pada 2009.




IV. Perjanjian Bilateral
Pemerintah harus mampu menegosiasikan dan menyepakati perjanjian bilateral dengan negara penerima para TKI. Perjanjian bilateral ini mengakomodasi ketentuan-ketentuan dari Konvensi Perlindungan atas Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya.

Konvensi Buruh Migran sendiri tidak akan bermanfaat meski Indonesia berkeinginan meratifikasi mengingat negara penerima TKI tidak meratifikasi. Bila merujuk pada nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani, MoU tersebut masih sangat jauh dalam memberi perlindungan dibandingkan dengan Konvensi Buruh Migran.

V. Handphone (HP)
Pemerintah yang lebay berencana tahun 2011 membuat kebijakan pemberian (kredit) hp kepada TKI diharapkan bisa menghubungi call center 24 jam. Mudah-mudahan dengan memiliki HP, maka bisa menjadi semacam deteksi dini, sehingga kejadian yang memilukan bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan,” Demikian disampaikan Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Mohammad Jumhur Hidayat (rakyatmerdeka.co.id, 21/11). Sungguh kebijakan yang aneh, padahal bagaimana bisa telpon, paspor saja ditahan majikan J

Solusi pro syariah
Penanganan berbagai kasus TKI yang sering kali berulang trus menerus tiap tahun seharusnya dikembalikan pada syariah. Sebagai rujukan dalam menyelesaikan problematika umat secara tuntas. Serta dilihat dari akar masalah lalu kemudian dihukum berdasarkan pada tuntunan illahi.

Berkaitan dengan kasus TKI ini ada tiga point penting yang perlu kita sampaikan ke umat. Point pertama, kita perlu tegaskan, kejadian yang menimpa TKI jelas-jelas bertentangan dengan Islam dan tidak ada hubungannya dengan Islam, meskipun pelakunya adalah warga Saudi Arabia. Hal ini perlu kita tegaskan, mengingat tidak sedikit mereka mengidap islamophopia menjadikan penyiksaan terhadap TKI sebagai kampanye murahan menyerang Islam dan syariah Islam. Apa lagi kalau terjadi di Saudi Arabia.

Mengecam sikap pemerintah Arab Saudi yang tidak semakin  baik dalam  menangani  masalah  serius ini, apalagi seringkali korbannya adalah perempuan. Semestinya penguasa Saudi sangat faham bahwa Islam memandang kehormatan dan perlindungan terhadap perempuan adalah tanggung jawab penguasa yang tidak bisa ditawar dalam kondisi apa pun, bahkan dalam keadaan perang sekalipun. Seharusnya penguasa di sana juga sangat takut pada laknat Allah karena membiarkan terjadinya pembunuhan tanpa hak. Bukankah mereka masih membaca ayat Al Qur’an yang menyatakan:
مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَڪَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَڪَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعً۬ا‌ۚ وَلَقَدۡ جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُنَا بِٱلۡبَيِّنَـٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرً۬ا مِّنۡهُم بَعۡدَ ذَٲلِكَ فِى ٱلۡأَرۡضِ لَمُسۡرِفُونَ (٣٢)
. . . Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al Maidah: 32)

Juga sabda rasul SAW
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi.

Ada yang menyatakan bahwa Arab Saudi mencerminkan syariah Islam dan sebagian dari rakyatnya masih beranggapan dalam Islam pembantu rumah tangga seperti Sumiati dan Kikim termasuk budak, jadi boleh diperlakukan demikian. Perlu ditegaskan kejadian yang menimpa Sumiati dan Kikim Komalasari sama sekali tidak mencerminkan syariat Islam, bahkan bertentangan dengan syariat Islam.  Kalau ada pihak yang mengkait-kaitkan kekejian ini dengan syariat Islam, itu hanya menunjukkan kedangkalan pemahaman mereka terhadap Islam. (tribunnews.com, 24/11/2010)

Dalam pandangan syariat Islam, pembantu rumah tangga bukanlah budak. Mereka manusia merdeka yang memilih bekerja, melakukan akad ijarah dengan majikan atau perantaranya dan seterusnya. Jadi, semestinya yang berlaku adalah transaksi pengupahan, di mana ada hak dan kewajiban masing-masing baik pada majikan maupun si pekerja. Sementara budak adalah orang yang tidak merdeka, yang menjadi harta (barang) milik tuan pemiliknya. Namun demikian, budak juga tidak boleh diperlakukan secara keji dan tidak manusiawi. (mediaumat.com, 24/11)

Kondisi di atas semakin menunjukkan kepada umat bahwa sikap pemerintah Saudi bukanlah cerminan Syariat Islam dan Saudi bukanlah negara Islam. Saudi Arabia bukanlah representasi dari negara yang menerapkan syariah Islam yang utuh. Meskipun dalam beberapa aspek negara itu memang menerapkan syariah Islam. Sistem kerajaan yang diadopsi oleh negara itu bertentangan dengan sistem Islam yang berbentuk Khilafah. Dimana pemimpin (Kholifah) bukanlah berdasarkan keturunan , tapi dipilih oleh rakyat dengan ikhtiar (pilihan) dan ridho (kerelaan) rakyat.

Negara Saudi juga dikenal merupakan negara yang tunduk kepada Barat. Sistem ekonominya juga banyak mengadopsi kapitalisme seperti membolehkan perusahaan asing menguasai tambang-tambang minyak yang sesungguhnya merupakan milik rakyat (al milkiyah al amah) . Bukan hanya itu, penerapan hukum di Saudi juga seringkali diskriminatif, tidak menyentuh pangeran-pengeran Saudi atau keluarga kerajaan inti yang dikenal senang hidup bermewah-mewahan.

Point Kedua , apa yang menimpa TKI tidak ada hubungannya dengan gender (jenis kelamin). Tindakan majikannya adalah criminal yang wajib diberikan sanksi tanpa melihat jenis kelaminnya. Syariat Islam dengan tegas melarang segela bentuk penyiksaan seperti itu tanpa melihat jenis kelamin pelaku atau korbannya , baik laki-laki atau perempuan.

Bagi yang membunuh secara sengaja akan dikenakan sanksi qishos berupa hukuman mati. Kecuali keluarga korban memaafkan , pelaku dibebaskan setelah membayar diyat senilai 100 ekor unta yang 40 ekor diantaranya adalah unta hamil, yakni sanksi yang diberatkan (mughallazhah) atau dengan 1000 dinar emas ( 1 dinar 4,25 gr emas).

Adapun penyerangangan terhadap anggota tubuh akan dikenakan diyat . Dalam kitab Nidzom al Uqubat (sistem Sanksi) , dijelaskan secara rinci sanksinya. Penyerangan terhadap dua biji mata dihukum dengan diyat (100 ekor unta), kalau 1 biji mata setengah diyat (50 ekor unta). Penyerangan terhadap dua buah telinga dikenakan diyat penuh (100 ekor unta). Jika dua buah bibir dipotong atau hilang atau terjadi pelumpuhan , maka dikenakan diyat penuh (100 ekor unta). Sementara diyat setiap gigi adalah 5 ekor unta.

Point yang ketiga, Pemimpin sebagai pelayan seharusnya mampu dan mengetahui problematika mendasar rakyatnya melalui pendistribusian barang kebutuhan pokok didaerah minus serta membuka lapangan pekerjaan untuk mengembalikan produktifitas daerah pensuplay TKI khususnya. Sehingga mereka tidak tergiur untuk bekerja diluar negeri.

Tragedi TKI juga cerminan dari kegagalan sistem Kapitalisme yag diadopsi oleh Indonesia untuk mensejahtrakan rakyatnya. Kalau ada pilihan lain, tentu Suamiti lebih ingin dekat bersama keluarganya. Tapi kemiskinan telah memaksa Sumiati dan ribuan wanita lainnya untuk bekerja di luar negeri meninggalkan suami, anak, atau keluarga. Dalam Islam kewajiban mencari nafkah ada di tangan suami, sementara wanita fungsi utama sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Namun kondisi ekonomi yang sulit akibat sistem kapitalisme memaksa Sumiati harus bekerja.

Syariat Islam adalah agama yang memuliakan wanita. Begitu pentingnya memperhatikan wanita, secara khusus Rosulullah SAW mengingatkan umatnya pada khutbah perpisahan Rosulullah di Arafah dengan berpidato : Takutlah kepada Allah dalam bersikap kepada kaum wanita, karena kamu telah mengambil mereka (menjadi isteri) dengan amanah Allah dan kehormatan mereka telah dihalalkan bagi kamu sekalian dengan nama Allah.Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isteri kamu dan isteri kamu mempunyai kewajiban terhadap diri kamu.

Rosulullah juga menyatakan orang mukmin yang sempurna adalah yang memuliakan wanita. Dari Abu Hurairah ra ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik diantara mereka akhlaqnya, dan yang paling baik diantara kamu sekalian adalah orang yang paling baik terhadap istri mereka.
Sudah seharusnya pemerintah menstop pengiriman TKI karena hanya akan menyusahkan dan menyengsarakan rakyat.
Sepanjang sejarah peradaban manusia hanya Khilafah Islamiyah lah yang mampu memberikan kesejahteraan dan perlindungan sempurna kepada perempuan. Maka, marilah kita sekuat tenaga berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.