Membaca judul tulisan diatas, sepintas barangkali kita akan menjawab
kenapa tidak mungkin. Tak ada yang mustahil di dunia ini, termasuk untuk
bisa menjadi guru yang profesional. Bahkan mungkin ada diantara kita
yang berfikir kalau pertanyaan diatas sedikit silly, pertanyaan yang
sesungguhnya tak perlu disampaikan. Namun kalau kita mau jujur, menjawab
pertanyaan di atas dalam konteks dunia pendidikan nasional kita, maka
minimal kita tidak berani untuk segera menjawab pertanyaan itu secara
sederhana dengan jawaban why not?
Ketidakberanian
kita barangkali disebabkan karena begitu kompleksnya permasalahan guru
di tanah air tercinta ini. Telah ada begitu banyak diskusi, seminar,
lokakarya, dan pertemuan ilmiah lainnya yang membicarakan betapa
rumitnya permasalahan guru di negri ribuan pulau ini. Guru kita sering
berada pada posisi yang sangat dilematis karena pada satu sisi menjadi
tumpuan harapan keberlangsungan masa depan anak bangsa ini dalam bidang
pendidikan di masa yang akan datang, namun pada saat yang sama guru
sulit keluar dari permasalahan klasik yang melilit mereka, seperti
kesejahteraan, penghargaan, dan isu tentang profesionalisme.
Menurut saya, masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius
diantara permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan
mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai
hari ini sepertinya guru “belum percaya diri” menyebut profesi mereka
sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti
dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti
“tak bisa” menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar
dengan para profesional di bidang yang lain.
Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang
disebut profesi idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan
pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu
bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi
profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang
profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih
dibanding pekerja lainnya. Maka untuk menjadi profesional, seseorang
harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika
profesi (Nurkholis, 2004).
Kalau kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat
lainnya, seperti dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat
betapa besarnya perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu. Lazim
diketahui bahwa untuk menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan,
misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Mereka
harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek
lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing.
Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk
mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan
minimal dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jaminan bahwa
yang bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Bagaimana untuk menjadi seorang guru di negeri ini? Di Indonesia,
setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan
bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru.
Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga
pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah
mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak
sarjana kita setelah gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap
“lebih baik”.
Kemudian, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut
di atas, harus memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau
sertifikat dari lembaga profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh
melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi maupun
sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat
terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi
penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja sebagai guru,
berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang lulus
dari LPTK.
Apalagi kalau kita membandingkannya dari sisi kesejahteraan, maka
perbedaannya akan semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model
perbandingan di atas memiliki standar gaji dan renomerasi yang jelas.
Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai diri sendiri,
mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak guru
di pelosok negeri ini yang bergaji Rp. 60.000 per bulan. Banyak guru
yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar
UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan
kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa
menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus
membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau
berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa,
sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini
rendah, pantaskah kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?
Harapan Di Balik UU Nomor 14/2005
Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai
kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang
Guru dan Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian
muncul. Banyak pihak berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi
tonggak bersejarah untuk bangkitnya profesi ini menjadi profesi mulia
yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah profesi yang tak
hanya dihargai dengan ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa”, tapi sebuah
profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya.
Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat
perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang
dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kita
berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif
bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang
sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan
membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan
tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui
perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang
profesional sebagai entry point.
Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru ini, pemerintah telah
merencanakan akan melakukan program sertifikasi guru dalam waktu dekat.
Seperti yang dikatakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Depdiknas Fasli Jalal bahwa pemerintah sedang menyiapkan
peraturan pemerintah (PP) untuk sertifikasi para guru, dan diharapakan
dalam enam bulan telah keluar PP dan telah ditunjuk LPTK penyelenggara
sertifikasi. Setelah itu, dilangsungkan pendidikan profesi serta uji
sertifikasi bagi para guru yang sudah sarjana (Kompas, 27/02/2006)
Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak
menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi
guru, namun terlepas dari siapa yang meyelenggarakan, program
sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses
terbentuknya guru yang profesional di masa datang. Selain karena dengan
program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi
seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa
menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal
16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki
sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali
gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri
maupun swasta.
Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang undang
yang menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran
negara ke sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa
kepada kualitas dunia pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru
yang profesional secara khusus.
Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya,
maka diyakini masyarkat tidak akan lagi melihat “sebelah mata” kepada
profesi ini. Efek dominonya adalah akan banyak para siswa pintar kita
kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir
mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini
memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan
komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Wallahu’alam