Penjelasan Kurikulum Kurikulum 2013 merupakan kurikulum
baru diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku selama kurang
lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaan di Tahun 2013 dengan
menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah percobaan. Di Tahun 2014, Kurikulum
2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas VII
dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Diharapkan, pada Tahun 2015 diharapkan telah
diterapkan di seluruh jenjang pendidikan. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek
penilaian, yaitu Aspek Pengetahuan, Aspek Ketrampilan, dan Aspek Sikap dan
Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran
terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang
dirampingkan terlihat ada di Materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb, sedangkan
materi yang ditambahkan adalah Materi Matematika. Materi pelajaran tersebut
terutama Matematika disesuaikan dengan materi pembelajaran standar Internasional
sehingga pemerintah berharap dapat menyeimbangkan pendidikan di dalam negeri
dengan pendidikan di luar negeri.
Pengetahuan
Aspek
pengetahuan merupakan aspek yang ada di dalam materi pembelajaran untuk
menambah wawasan siswa di suatu bidang. Di dalam struktur kurikulum ini,
jenjang SD memiliki bobot pengetahuan sebanyak 20% dan 80% aspek karakter,
jenjang SMP memiliki bobot pengetahuan 40% dan 60% aspek karakter, dan jenjang
SMA memiliki bobot pengetahuan 80% dan 20% aspek karakter. Kurikulum 2013
memang diintegrasikan dengan pendidikan karakter yang sebelumnya telah
dicanangkan pemerintah sebelum terbentuknya kurikulum ini.
Keterampilan
.jpg)
Sikap dan Perilaku
Aspek
penilaian sikap dan perilaku merupakan aspek penilaian dengan menilai sikap dan
perilaku peserta didik selama proses pembelajaran. Aspek penilaian ini dinilai
oleh guru dalam jurnal harian, teman sejawat dalam sebuah lembaran nilai, dan
oleh diri sendiri
TEPAT pada tanggal 15 Juli 2013 lalu,
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas),
telah ‘menyuarakan’ agar sekolah-sekolah di seantero Indonesia
mengimplementasikan kurikulum 2013 (K-13). Ini menambah panjang rentetan
sejarah pergantian kurikulum di Indonesia menjadi sepuluh kali. Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa kurikulum yang pernah diterapkan di Indonesia
antara lain, kurikulum rentjana pelajaran (1947-1968); kurikulum tahun 1947 (rentjana pelajaran 1947), kurikulum 1952 (rentjana peladjaran terurai 1952), rentjana peladjaran 1964, kurikulum 1968, kurikulum berorientasi
pencapaian tujuan (1975-1994);
kurikulum 1975, kurikulum
1984, kurikulum 1994, kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) 2004, kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) 2006 dan K-2013.
Ketika K-13 diterapkan, ada
segelintir kalangan yang gelisah, takut, protes, hingga menolak. Pada saat yang
sama, ada banyak kalangan yang senang dan menerima adanya implementasi K-13.
Meski demikian, penulis tidak ingin membuka ruang kontroversi pada tulisan ini.
Penulis pun meyakini adanya adagium, ‘tidak ada yang kekal di dunia ini,
selain perubahan itu sendiri’. Berangkat dari adagium tersebut, hemat penulis
perubahan kurikulum bisa dikatakan sesuatu yang wajar. Pasalnya, bila ditilik
lebih jauh, maka perubahan dilakukan demi mengatasi kekurangan atau
permasalahan pada kurikulum sebelumnya, dimana Kemendiknas telah melakukan
pengkajian (Uji Publik) terhadap kekurangan atau permasalahan kurikulum
sebelumnya dan hal itu dilakukan demi perubahan yang lebih baik pada K-13.
Adapun dalam Uji Publik tersebut
menemukan beberapa permasalahan yang terjadi pada kurikulum 2006 (KTSP) diantaranya: (1)
Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi
dan tujuan pendidikan nasional; (2) Kompetensi belum menggambarkan secara
holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; (3) Beberapa kompetensi
yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan
karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard
skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (4) Kurikulum
belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat
lokal, nasional, maupun global; (5) Standar proses pembelajaran belum menggambarkan
urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang
beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (6)
Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses
dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan
(7) Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak
menimbulkan multi tafsir.
Menarik ketika melihat point ke-3
dari permasalahan diatas. Salah satunya terletak pada pendidikan karakter. Ini
berarti Kemendiknas bertujuan menjadikaan pendidikan karakter sebagai prioritas
utama dalam K-13. Tak heran bila K-13 sering disebut sebagai kurikulum
berkarakter (budaya/bangsa). Lantas, apakah kita mengklaim
kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak terdapat ‘pendidikan karakter’?
Tentu tidak! Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Samani Muchlas dan Hariyanto
dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter (2012:7) bahwa sejak Orde Lama,
pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum di Indonesia dengan nama
pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam berbagai bidang studi dengan
landasan pengembangan kebudayaan, pendidikan budi pekerti lebih banyak
ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa dan guru, antara siswa dan
orang tua, dan antar siswa”. Ini bertanda bahwa dalam K-13 ini pemerintah
ingin lebih menekankan kehadiran pendidikan karakter.
Urgensi Pendidikan
Karakter
Sejalan dengan penjelasan diatas,
Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh pun telah menegaskan penting dan mendesaknya
pendidikan karakter. Hal itu telah dimulai pada tahun 2011, bertepatan dengan
Hari Pendidikan Nasional. Tema peringatan Hardiknas kala itu yakni, ‘Pendidikan
Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa’ dengan Subtema ‘Raih Prestasi,
Junjung Tinggi Budi Pekerti’. Ini sebagai bentuk ‘concern’ pemerintah terhadap
urgennya pendidikan karakter, menyusul adanya perilaku pelajar kita dewasa ini
yang kontras dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20
Tahun 2003 Pasal 3 tentang
SISDIKNAS, yang mengutamakan
pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Selain itu, perilaku
(attutude) pelajar kita pun tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan
karakter yang oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter
(2011) dalam Samani Muchlas dan Hariyanto (2012:52) yang bersumber dari
agama, pancasila budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yakni: (1) Religius,
(2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7)
Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11)
Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikasi, (14)
Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial,
dan (18) Tanggung Jawab.
Perilaku kontra-nilai-nilai
pendidikan karakter ini seiring rendahnya budaya disiplin dan tertib belajar di
sekolah, dan di rumah yang semakin menurun, meningkatnya jumlah siswa yang
bolos dan absen saat jam pelajaran, meningkatnya kelompok komunitas geng motor
yang setiap kali ‘ugal-ugalan’ dijalan-jalan protokol, adanya budaya menyontek
hingga plagarisme (plagiat). Selain itu, Tempo Interaktif,
27/8/2009) dalam Samani Muchlas dan Hariyanto dalam buku Konsep dan Model
Pendidikan Karakter (2012:2) pun mengemukakan makin meningkatnya tawuran antar-
pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja lainnya terutama di kota-kota
besar, pemerasan, kekerasan (bullying-red),
kecenderungan dominasi senior terhadap yunior dan berbagai fenomena buruknya
karakter pelajar kita. Pada kondisi yang redup ini, pendidikan karakter perlu
diperkuat di setiap lembaga pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga
Sekolah Menengah Atas (SMA). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, siapa yang
paling berperan dalam memperkuat serta ‘membumikan’ nilai-nilai pendidikan
karakter dalam K-13
Peran Guru
Upaya ‘membumikan’ nilai-nilai
pendidikan karakter memang membutuhkan peran dan tanggung jawab semua
stakeholders, mulai dari pemerintah, orang tua siswa, pemerhati pendidikan,
tokoh masyarakat maupun tokoh agama. Namun, tidak berlebihan jika melalui K-13
peran guru pelu lebih diutamakan. Mengingat, guru menjadi ‘aktor’ utama dalam
mengimplementasikan K-13 melalui pendidikan formal di sekolah (kelas), sehingga
sosok guru sangat dibutuhkan dan begitu penting dalam mengejahwantahkan
nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam tiga domain atau ranah pendidikan,
yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap, perilaku), dan psikomotor
(keahlian atau ketrampilan) dari output belajar
siswa. Tak pelak, guru menjadi tumpuan utama dalam ‘membumikan’ pendidikan
karakter, khsusnya melalui ranah afektif dan psikomotor dalam K-2013. Karena
harus diakui, selama ini banyak kalangan menilai ranah afektif dan psikomotor
seakan ‘mati suri’ ketimbang ranah kognitif.
Betapa tidak, para guru begitu
bangga ketika anak didiknya justru mampu menghafal banyak catatan, materi serta
konsep-konsep pelajaran yang diajarkan serta menyimpannya dalam otak mereka,
ketimbang berinovasi, mempraktikan dan melakukan konsep atau teori yang telah
disimpan dalam otak. Tentu, dalam implementasi K-13 ini, sudah saatnya materi
serta konsep-konsep tersebut diimplementasikan dalam keseharian peserta didik,
baik dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Sehingga ketiga
domain tersebut dapat berjalan ‘seimbang’ dan ‘seiring’. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah, bagaimana guru melihat dan menilai sikap mupun keahlian
peserta didik (pada ranah afektif dan psikomotor) ketika mereka berada
dilingkungan masyarakat?
Hal ini agaknya sulit. Namun pada
kondisi ini, guru harus mampu melihat dan menilai peserta didiknya, dengan
kompetensi sosial yang dimiliki, yakni bagaimana menjaga hubungan baik dengan
lingkungan sosial, masyarakat maupun orang tua siswa, serta kompetensi personal
yang dimiliki, yakni bagaimana menunjukkan kepribadian (personality-red) dan attitude (sikap-red) yang baik
kepada anak didik. Hal ini untuk lebih mengetahui serta menilai perilaku dan
‘tindak-tanduk’ pelajar, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan
masyarakat, dan pada saat yang sama guru pun hadir dan menunjukkan sikap dan
teladan yang baik bagi peserta didik.
Tidak hanya sampai disitu saja,
peran guru bimbingan konseling (BK) pun tidak bisa diabaikan begitu saja, namun
sangat diharapkan. Bila kita mau jujur, selama ini peran guru BK belum maksimal
di semua sekolah seantero Indonesia. Hal ini terbukti ada sejumlah sekolah di
Indonesia bahkan di NTT belum merekrut tenaga guru BK murni (guru
berkualifikasi BK) untuk mengabdi di sekolah. Meskipun ada, kehadiran mereka
justeru hanya melengkapi struktur organisasi sekolah dan bahkan ada yang
tugasnya hanya membantu menyeleseikan tugas kepala sekolah, dan komite sekolah
untuk mengurusi ‘tetekbengek’ sekolah yang jauh dari tugas pokoknya. Sungguh
ironis!
Realitas ini berbeda dengan Sistem
Pendidikan di negara Finlandia. Lihat saja, Pemerintah Finlandia tidak hanya
fokus mempersiapkan tenaga guru yang berkualitas, tetapi juga sangat ‘jeli’
mempersiapkan guru yang secara khusus ‘menangani masalah personal peserta didik
dan perilakunya’. Tidak mengherankan bila hal ini menjadi salah satu faktor
penentu yang membuat Sistem Pendidikan di sana, justru diplot sebagai
yang terbaik sejagad pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD). Saya harus mengancungkan jempol dan mengakui keunggulan
sistem pendidikan di negara Finlandia, dan itu patut dicontoh dan ditiru. Oleh
karena itu, bila kita ingin memperbaiki karakter anak-anak bangsa yang kian
hari semakin buruk, bobrok, dan jauh dari nilai-nilai religius maupun
nilai-nilai budaya bangsa. Maka, peran guru kelas, guru mata pelajaran dan
peran guru BK untuk menangani masalah personal peserta didik dan perilakunya
melalui implementasi K-13 adalah mutlak.